Menghidupkan Rasa Malu

Penegasan Rasulullah saw di atas mengingatkan, apabila seseorang tidak lagi mempunyai rasa malu, maka ia akan kehilangan kontrol atas segala tingkah lakunya. Dia menjadi lepas kendali dan merasa bebas untuk melakukan apa saja tanpa harus mempertimbangkan halal haram, baik buruk dan manfaat mudharat perbuatannya. Segala macam cara ia halalkan demi mencapai tujuan dan memuaskan hawa nafsunya belaka.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk. Kemudian kami kembalikan dia ke peringkat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mereka beramal shalih ,” (QS. At-Tin: 4-6)

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia dan sempurna. Selain bentuk fisik yang bagus, ia pun dianugerahi Allah Ta’ala kemampuan berpikir melalui akal. Dengan modal akal ini, manusia dapat mempertahankan predikat kemuliaan dan kesucian fitrahnya. Tanpa memanfaatkan akal yang sehat, manusia akan terjerembab ke jurang kehinaan.

Salah satu ciri utama fitrah manusia adalah memiliki rasa malu. Ketika rasa malu hilang, manusia secara pasti memperturutkan hawa nafsunya dan mengabaikan petunjuk akal dan nuraninya (QS. Al-A’raf: 179).

Secara sederhana, malu dapat dimaknakan sebagai sifat atau perasaan yang membuat enggan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik. Dalam buku Adab an-Nabi, ustads Abdul Qadir Ahmad ‘Atha membedah secara bahasa kata ‘malu’ dengan cemerlang. Menurutnya, kata ‘al-hayyaa’ (malu) pada dasarnya memilki sinergi erat dengan kata ‘al-hayaat’ yang berarti kehidupan. Sebab, kata itu mengandung makna: perasaan sedih dan perubahan jiwa yang dapat menyedot segala kekuatan lahir dan batin, mencoreng kehormatan diri dan mengurangi harkat nilai keidupan manusia.

Sifat malu mutlak dimiliki seorang Muslim. Sebab rasa malu tak lain merupakan refleksi keimanan, laksana perisai yang dapat mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran dan kemaksiatan. Bahkan mulia-hinanya akhlak seseorang dapat diukur dari rasa malu yang ia miliki.

Karena itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan. Keduanya selalu hadir bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula rasa malunya. Begitu juga sebaliknya. Rasulullah saw bersabda: “Iman itu memiliki 60 sampai 70 cabang, yang paling utama ialah pernyataan ‘Laa ilaaha illallah’. Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman,” (Muttafaq ‘alaih).

Jadi, seorang Musim yang benar-benar memiliki komitmen dalam menjalankan ajaran Islam tentu punya komitmen dalam memelihara sifat malunya. Sebab ketika rasa malu itu tak lagi bersemayam dalam jiwanya, pada hakikatnya keimanannya tidak lagi sempurna. Paling tidak, ketika rasa malu itu sedang hilang darinya. Sabda Rasulullah saw, “Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu jadi satu, maka apabila lenyap salah satunya hilang pulalah yang lainnya,” (HR. Hakim dan Baihaqi).

Rasa malu berfungsi mengontrol dan mengendalikan seseorang dari segala sikap dan perbuatan yang dilarang oleh agama. Tanpa kontrol rasa malu, seseorang akan leluasa melakukan apa pun yang ia inginkan, meski hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: “Jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu,” (HR. Bukhari).

Penegasan Rasulullah saw di atas mengingatkan, apabila seseorang tidak lagi mempunyai rasa malu, maka ia akan kehilangan kontrol atas segala tingkah lakunya. Dia menjadi lepas kendali dan merasa bebas untuk melakukan apa saja tanpa harus mempertimbangkan halal haram, baik buruk dan manfaat mudharat perbuatannya. Segala macam cara ia halalkan demi mencapai tujuan dan memuaskan hawa nafsunya belaka.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat merasakan kebenaran sabda Rasulullah saw di atas. Betapa kita telah terbiasa melihat seseorang yang mengaku Muslim, namun melanggar nilai dan ajaran agamanya tanpa merasa rikuh sedikit pun. Bahkan sesuatu yang rasanya mustahil terjadi menurut ukuran minimum keimanan sekalipun, sangat banyak kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari korupsi, nepotisme, perzinahan dan lain sebagainya.

Benar, ketika budaya malu tak lagi tegak dalam suatu masyarakat maka itulah saat awal kehancuran dan kebinasaannya. Rasulullah saw menggambarkan betapa rasa malu harus dibudidayakan demi keselamatan sebuah bangsa. “Jika Allah ingin menghancurkan suatu kaum, maka dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang timbul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati itu membudaya, maka Allah akan mencabut dari mereka sikap amanah dan tanggung jawab. Bila sikap amanah telah lenyap maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para pengkhianat sudah merajalela maka Alaah akan mengangkat rahmat-Nya dari mereka. Bila rahmat Allah telah sirna maka akan tampillah manusia-manusia terkutuk. Bila manusia-manusia laknat itu telah berkuasa maka akan tercabutlah dari kehidupan mereka tali-tali Islam.” (HR. Ibnu Majah).

Malu, amanah, rahmat dan Islam adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Konsekuensi logis dari hilangnya rasa malu adalah hilangnya amanah. Lenyapnya amanah pertanda rahmat sudah tidak ada lagi. Hilangnya rahmat merupakan istarat akan terurainya ruh, semangat dan nilai-nilai Islam dari kehidupan umat.

Sifat malu ini dapat dibagi ke dalam tiga bagian yang saling berkaitan. Pertama malu kepada Allah SWT. Kedua malu pada diri sendiri dan ketiga malu pada orang lain.

Seorang mukmin sejati akan malu pada Allah SWT jika ia tidak mengerjakan perintah-Nya dan tidak menjauhi larangan-Nya. Orang yang betul-betul malu pada Allah Ta’ala dengan sendirinya akan malu pada dirinya sendiri. Ia malu melakukan maksiat sekalipun berada di tempat yang tersembunyi, dimana tak seorang pun yang melihat dan mendengarnya. Setelah malu pada dirinya sendiri ia pun akan malu melakukan sesuatu yang dapat merugikan orang lain.

Ketiga rasa malu di atas seyogyanya ditumbuhkembangkan dan dipelihara terus menerus oleh setiap Muslim. Apalagi malu pada Allah SWT. Sebab, malu kepada-Nya inilah yang menjadi sumber lahirnya dua jenis malu lainnya. Semoga kita masih memiliki rasa malu itu.

Pentingnya Kejujuran

Dusta berpotensi membawa pelakunya untuk berbuat jahat. Seorang pencuri, ketika ia mencuri pada dasarnya ia sedang tidak jujur kepada dirinya sendiri, karena barang yang ia ambil bukan miliknya. Orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat, zakat, dan berbagai syariat lainnya, pada dasarnya orang itu sedang tidak jujur pada dirinya sendiri....

Pada awal kerasulannya, Muhammad SAW pernah bertanya kepada kaum Quraisy, "Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kukatakan bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda? Percayakah kalian?"

Jawab mereka, "Ya, engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat kau berdusta.".

Jawaban orang Quraisy itu disampaikan secara spontan karena yang bertanya adalah Muhammad bin Abdullah. Sosok yang selama ini mereka gelari dengan Al Amin, orang yang dipercaya.

Ada fenomena menarik dari penganugerahan gelar Al-Amin ini. Pertama, gelar Al-Amin lahir dari mulut orang-orang Quraisy. Padahal, sejarah mencatat bahwa peradaban Quraisy saat itu dan jazirah Arab umumnya berada di tengah peradaban Jahiliyyah. Sebuah peradaban yang sudah tidak bisa lagi membedakan antara yang hak dan batil, antara yang halal dan haram. Sebuah peradaban yang sudah sangat rusak dan bobrok.

Namun, kejujuran Muhammad bin Abdullah tidak luntur oleh peradaban di sekelilingnya. Justru orang-orang yang hidup di peradaban Jahiliyah itu (Quraisy) secara sukarela memberikan penghargaan kepada kejujuran Muhammad dengan menggelarinya Al-Amin.

Hikmah pertama dari gelar ini, sepertinya Allah ingin memberikan pelajaran bahwa kejujuran adalah sebilah mata uang yang tidak saja akan senantiasa berlaku. Tetapi, juga akan selalu berharga di manapun dan kapan pun, sekalipun di tengah peradaban yang carut-marut.

Kedua, gelar Al-Amin ini telah diberikan oleh orang-orang Quraisy jauh sebelum masa kerasulannya, kira-kira pada usia 15-20 tahun. Penganugerahan gelar Al-Amin yang sudah melekat jauh sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul ini mengandung pelajaran bahwa kejujuran adalah modal awal sekaligus modal sebaik-baiknya untuk menempuh kehidupan. Baik dalam kedudukan Muhammad selaku hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi, tidak terkecuali dalam menjalankan amanah kepemimpinan di hadapan sesama umat manusia. Lawan dari kejujuran adalah perilaku dusta. Mengenai hal ini Rasulullah berpesan, "Hendaklah kamu sekalian menjaga diri dari berperilaku dusta. Sesungguhnya dusta akan selalu membawa kepada kejahatan, dan sesungguhnya setiap kejahatan akan menyeret pelakunya ke dalam neraka."

Dusta berpotensi membawa pelakunya untuk berbuat jahat. Seorang pencuri, ketika ia mencuri pada dasarnya ia sedang tidak jujur kepada dirinya sendiri, karena barang yang ia ambil bukan miliknya. Orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat, zakat, dan berbagai syariat lainnya, pada dasarnya orang itu sedang tidak jujur pada dirinya sendiri. Ia telah mengingkari jati dirinya sebagai seorang khalifah maupun hamba Allah.

Alhasil, orang mukmin sudah seharusnyalah menegakkan kejujuran, di manapun dan kapan pun. Jujur pada diri sendiri dan orang lain.

Gerakan Sholat Mengandung Terapi Kesehatan

Dalam salah satu hadits Nabi disebutkan “asholatu imanuddin“, sholat itu adalah tiang agama, orang yang sholat adalah yang menghidupkan agama dan orang yang tidak sholat adalah yang mematikan agama.

Secara harfiah sholat merupakan tiang agama, maka siapa yang sholat dia telah menegakkan agamanya, dan yang tidak sholat berarti dia telah menghancurkan agamanya.

Menurut pandangan ulama-ulama tasawuf yang ditinjau dari filsafat Rasulullah SAW, mengungkapkan sholat itu merupakan tiang agama. Agama memiliki 3 (tiga) pilar yaitu :

1. Iman

2. Ikhsan

3. Islam

Iman Aqidah dengan ilmu tauhidnya, ikhsan : tashawuf, moral akhlaknya dan Islam : syariah ilmu fikihnya. Kalau dikatakan bahwa sholat merupakan tiang agama berarti sholat itu menunjang keimanan, menunjang syariah dan menyempurnakan akhlak manusia. Kemudian bagaimana letak Aqidah keimanan di dalam sholat itu terbagi menjadi 6 (enam) komitmen iman di dalam sholat menurut khujjatul Islam, Imam Ghozali adalah :

1. Komitmen untuk membesarkan Allah SWT, itu merupakan isi sholat.

2. Komitmen untuk mengagungkan Allah SWT.

3. Komitmen untuk memuji Allah SWT.

4. Lomitmen untuk mensucikan Allah.

5. Komitmen untuk mengesakan Allah.

6. Do’a.

Jadi semua ucapan dan gerakan sholat menjawab keenam komitmen tersebut. Kenapa berdiri, mau membesarkan. Kenapa harus mengangkat tangan, cara kita untuk membesarkan. Ada ruku, mau mengagungkan Allah, ada I’tidal, untuk memuji Allah, ada Sujud untuk mensucikan Allah. Kita duduk antara dua Sujud, adab untuk berdo’a. Kita tahiyat untuk mengesakan Allah, jadi semua dijawab baik ucapan maupun gerakan. Dalam ucapanpun sama seperti iftitah adab berdoa, ada fatihah yang dirukunkan untuk memuji. Ada ayat yang dibaca untuk mensucikan lagi.

Pembentukan moral dan akhlak

Dalam fenomena keragaman di Indonesia ini ada kerawanan, banyaknya aliran-aliran sesat, munculnya nabi-nabi palsu ini merupakan fenomena di akhir zaman. Memang Rasulullah SAW mengungkapkan dalam hadits ada 71 golongan, yaitu 1 ke surga dan 70 ke neraka. Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, 1 ke surga dan 71 ke neraka. Umatku terpecah menjadi 73 golongan, yaitu 1 ke surga dan 72 ke neraka.

Dalam hadits yang lain pun sudah diterangkan bahwa ciri-ciri hari kiamat, kata nabi tidak akan terjadi kiamat sebelum dimunculkan 30 nabi palsu seperti dajjal. Dalam salah satu penelitian dari Islamic center di London beberapa tahun yang lalu bahwa terungkap dari bukti-bukti sejarah dan fakta yang mereka lihat, mereka teliti serta mereka pelajari selama 14 abad tidak kurang dari 10 nabi palsu sudah muncul dengan pengikut yang banyak termasuk di Meksiko , ada Aulia Muhammad, di Pakistan ada Mirza Ghulam Ahmad, di India Utara ada Sai Baba sudah mengaku nabi lagi dengan pengikutnya sudah jutaan orang. Diperkirakan pada tahun 2015 ada yang mendakwahkan dirinya menjadi tuhan.

Asholatu imanuddin, sholat adalah tiang agama yaitu pilar agama adalah keimanan, dengan keimanan itu akan menghidupkan sholat. Ikhsan, akhlak dan moral yang berarti ibadah sholat itu akan membentuk akhlak dan moral. Jika dibahas satu persatu ada 9 (sembilan) gerakan sholat yang dibahas oleh Imam Bukhori, dimana letak pembentukan moral dan akhlaknya.

Sujud mengajarkan manusia tawadhu rendah hati karena ada sifat sombong dan apa yang kita banggakan semuanya pasti jatuh ke bawah. Harta jangan disombongkan karena tidak dibawa mati, pangkat jangan disombongkan karena ada waktu pensiun. Ilmupun jangan disombongkan karena dari Allah. Kegagahan tidak perlu dibanggakan karena ada waktu sakit, semuanya itu perlu dilatih melalui ibadah Sujud.

Ada ruku yang mengagungkan Allah, dan kesempurnaan hanya milik Allah. Kita sadar pada waktu ruku karena manusia tidak ada yang sempurna. I’tidal untuk memuji Allah, agar supaya kita mau mensyukuri nikmat dan jangan menjadi orang yang serakah dan kufur nikmat. Salam merupakan penjabaran dari silaturahmi antara satu mukmin dengan mukmin yang lain.

Sholat itu tiang agama adalah membentuk iman, membentuk syariat dan membentuk moral. Makna syariat adalah untuk melatih disiplin, selama ini kita hanya mengandalkan sisi fikihnya saja seperti wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah, tetapi kalau dilihat dari segi filsafat syariat ini justru akan memberikan hikmah, dalam kehidupan kita.

Makanya di dalam Al qur’an tidak kurang dari 40 sasaran ayat sholat. Ada sholat yang dihubungkan ibadah dengan do’a, dengan keluarga, dengan ekonomi, dengan gerakan dan dengan waktu. Sekarang ada pertanyaan kenapa Allah SWT menetapkan untuk melakukan sholat? Dalam tafsir ilmiah Al Azhar Kairo, itu terbantu oleh penelitian dari ilmuwan Cina, kenapa Allah menetapkan waktu-waktu sholat.

Gerakan mengandung energi

Dalam buku kuno Cina telah mengungkapkan periode alam semesta dalam 24 jam ini rupanya terjadi beberapa periode. Dalam buku itu terjawab ada hubungan antara manusia dengan alam di sekitar dan ini melalui waktu sholat terbukti bahwa energi alam dengan manusia terjadi sirkulasi yang amat seimbang, makanya Allah SWT menetapkan waktu-waktu sholat itu.

Kenapa sholat harus 5 kali dalam sehari ? Menurut pendapat ilmuwan Cina :

· Ada energi api akan keluar pada waktu jam 12.00 siang sampai sore, untuk mengobati jantung dan ginjal itu .

· Dalam gerakan sholat ashar adalah siklus dari panas ke dingin mereka menyebutnya terapi kandung kemih. Secara alamiah gerakan ashar itu ternyata memisahkan zat-zat kimia dalam tubuh kita

Ada energi air yang keluar pada waktu jam 6 sore setelah terbenamnya matahari yang mereka menyebutnya bahwa magh

Menggapai Ketenangan Hidup

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih " (QS. Ibrahim : 7).

Rasulullah saw bersabda : “Orang dermawan, dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan syurga, sedangkan orang bakhil (pelit), jauh dari Allah, jauh dari manusia dan dekat dengan Neraka. Sungguh Allah SWT lebih mencintai hambanya yang bodoh tapi dermawan, dibandingkan dengan ahli ibadah (pandai) tapi pelit (bakhil) ” (Al Hadits-Riwayat Abu Hurairah).

Rasulullah saw bersabda: “Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, Kalian tidak akan tersesat bila kalian berpegang teguh kepadanya yakni: Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnahku (Hadits)“. (HR Muslim).

Hidup ini memang seperti pergantian siang dan malam. Siang dengan ciri khasnya terang dan malam dengan ciri khasnya gelap. Bagi orang yang sudah tahu ilmunya, tentu tidak ada masalah dengan pergantian siang dan malam.

Misalnya, ketika sudah tahu bahwa siang itu harus bekerja dan beraktivitas, maka ditunggulah siang. Dan karena tahu bahwa malam itu waktunya tidur, istirahat atau berusaha shalat tahajjud, maka datangnya malam sangat dinantikan.

Memang alangkah indahnya jika kita senantiasa mengetahui apa yang harus dilakukan terhadap apa yang akan kita hadapi, karena yang kasihan adalah orang yang tidak siap menghadapi siang ataupun malam. Misalnya, siang takut terkena tagihan dan malam takut tidak bisa tidur.

Begitu pula dalam menghadapi hidup ini. Orang yang tidak tahu rumusnya, maka dia akan selalu tegang. Mempunyai uang takut hilang, tidak punya uang takut tidak bisa membeli apa-apa. Musim mutasi takut kehilangan jabatan, sudah punya jabatan takut dipindahkan lagi.

Belum punya suami takut tidak punya suami, sudah punya takut suami menikah lagi. Belum punya usaha takut tidak punya penghasilan, sudah punya usaha takut usahanya ambruk. Selalu takut, takut, dan terus ketakutan, lalu sesudah itu mati. Lantas, kapan bahagianya?

Sesungguhnya, setiap orang pasti mendambakan ketenangan batin. Sebab jika hati tenang, maka kita akan merasa lebih nyaman dalam melakukan berbagai macam aktivitas baik duniawi maupun ukhrowi.

Sebenarnya, Allah SWT telah mengajarkan pada kita langkah nyata untuk mendapatkan ketenangan hati, yaitu dengan dzikir. Sebagaimana firman-Nya, “Ingatlah dengan dzikir mengingati Allah, hati akan tenteram.” (QS. Ar Ra'd : 28).

Dengan selalu mengingat Allah, hati akan tenteram. Sebaliknya, ketika kita jarang ingat pada Allah, hati akan kering dan gersang. Dengan kata lain, sejauh mana kita sungguh-sungguh ingin hidup dalam tenterarn hati akan sangat terlihat dari berapa banyak waktu yang kita gunakan untuk berdzikir kepada Allah.

Orang-orang yang tertambat hatinya kepada Allah, apa pun yang ia lihat, ia dengar, dan ia rasakan, selalu dikorelasikan dengan Dzat Pencipta alam semesta ini. Seorang ahli dzikir akan jatuh dalam damai yang mendalam ketika merenungi hakikat pertumbuhan hidup manusia, sejak masih dalam rahim kemudian lahir hingga saat ajal tiba.

Ketika dalam rahim, janin manusia, sejak masih dalam rahim kemudian lahir hingga saat ajal tiba. Ketika dalam rahim, janin manusia lemah tidak berdaya, namun semakin besar semakin kuat hingga sampai di puncak kekuatannya. Dan ketika semakin tua kekuatan itu mulai pudar, hingga manusia seolah kembali ke tingkat kekuatan bayi yang lemah. Semua ini tidak terjadi melainkan karena kuasa Allah SWT.

Semakin banyak mengingat Allah, maka kadar keimanannya akan semakin bertambah. la tidak akan takut diancam oleh apa dan siapa pun makhluk yang ada di dunia ini. la hanya merasa takut akan ancaman dan murka Allah.

Orang yang telah mencapai derajat ini tidak pernah merasa waswas dalam bertindak. Tiap-tiap sesuatu yang dia hadapi dijadikan sebagai ladang amal. Bahkan dalam bertransaksi sekalipun ia akan memikirkan keuntungan bagi orang lain, la tidak khawatir dengan harga yang dipatok pedagang.

la akan merasa bahagia jika mampu berbagi rezeki dengan orang lain, la sangat yakin bahwa yang mengatur rezeki adalah Allah dan ia akan berjuang sekuat tenaga agar rezeki itu jatuh ke tempat yang barakah. la tidak takut hartanya akan habis, sebab yakin bahwa Allah akan memberi kelapangan rezeki bagi siapa pun yang berhati murah dengan banyak berderma.

Tentu saja, berdzikir harus senantiasa dilakukan setiap saat, sebab bila seseorang hanya mengingat Allah ketika shalat saja, maka ia akan selalu gelisah di luar shalat.

Ada yang ingat Allah hanya ketika ia mendapat ancaman saja. Bahkan ada yang benar-benar tidak tahu siapa itu Allah selama hidupnya. Naludzubillahi min dzalik. Orang yang tidak kenal Allah, sehebat apa pun ia, sebanyak apa pun harta yang dimilikinya, serta setinggi apa pun derajatnya di mata manusia, sungguh ia akan selalu dicekam gelisah.

Upaya untuk terus berdzikir hendaknya diiringi dengan sabar dan syukur. Sebab kedua aspek tersebut dapat menghindarkan kita dari kebiasaan marah terhadap sesuatu yang telah mengecewakan hati.

Padahal kemarahan yang kita luapkan bisa jadi karena tidak tercapainya keinginan atau harapan tinggi yang kita miliki. Memang, jika kita terlalu berharap untuk mendapatkan sesuatu, kita akan kecewa saat tidak mendapatkannya. Makin banyak keinginan, maka makin banyak peluang kita untuk marah.

Semestinya, kita harus siap menerima kenyataan, bahwa hidup ini penuh risiko dan tidak selamanya sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mengapa? Sebab ketika kita mempunyai rencana, maka Allah juga mempunyai rencana.

Dalam Al Qur'an Surat Al Hadiid ayat 22-23, Allah SWT berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri meiainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita’terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Secara sederhana, ayat di atas menyiratkan bahwa sesungguhnya apa pun yang terjadi di dalam dunia dan kehidupan setiap manusia sesungguhnya telah Allah tentukan. Dengan demikian, maka kita tidak perlu terlalu bersedih ketika ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, kita juga tidak boleh terlalu gembira melampaui batas ketika memperoleh kesenangan.

Namun, jika Allah telah menentukan semua hal, lantas apakah kita sudah tidak memiliki pilihan lagi? Tentu saja tidak demikian, karena Allah telah melengkapi manusia dengan software untuk memilih apa yang ingin kita pilih.

Setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi baik maupun untuk menjadi buruk. Mau lurus maupun bengkok, mau di jalan Allah atau di jalan sesat.

Jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, berarti kita harus meyakini bahwa itulah takdir terbaik dari Allah. Sepanjang kita sudah berusaha meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar, tentu apa pun yang kita peroleh tidak akan sia-sia.

Bukankah tidak sedikit orang yang ikhtiarnya sangat luar biasa namun belum juga memperoleh keberhasilan? Tugas kita hanya dua, luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar.

Betapapun luar biasanya kecintaan seseorang terhadap dunia, sadarilah bahwa semua itu fana belaka. Kita tidak akan hidup selamanya, ada kampung akhirat yang senantiasa menanti. Karena itu, sudah sewajarnya bila setiap episode kehidupan kita jalani dengan penuh rasa syukur.

Episode mempunyai kekayaan, jalani dengan ahli sedekah. Episode tidak memiliki harta kekayaan, jagalah diri kita dengan terus bekerja sebaik-baiknya dan tidak meminta-minta belas kasih orang lain. Saat datang episode dipuji, kita berusaha sekuat tenaga agar senantiasa rendah hati.

Episode dihina, bersyukur karena itu mungkin pertolongan Ailah agar kita mau mengevaluasi diri. Episode sehat, perbanyaklah ibadah. Episode sakit, tingkatkan kesabaran sebab bisa jadi itu adalah lahan penggugur dosa.

Kita harus senantiasa ber-husnudzhan terhadap ketentuan-ketentuan Allah yang menimpa diri kita, Jika kita merasa banyak berbuat kekhilafan dan dosa, yakinlah bahwa ampunan Allah lebih besar lagi daripada dosa-dosa yang kita perbuat.

Kita harus optimis bahwa Allah akan mengampuni kita. Dan tentu saja, kita juga harus optimis bahwa kita mampu terus memperbaiki diri. Justru sikap optimis itulah etika kita kepada Allah, sebab ketika kita diuji oleh Allah dengan aneka kesulitan justru supaya kita berpegang teguh kepada pertolongan Allah.

Strategi berikutnya, kita harus selalu berlatih mengenal diri sendiri. Sebab jika seseorang ingin baik, maka ia terlebih dahulu harus mengetahui sesuatu yang ingin dia rubah menjadi baik. Pengetahuannya bisa ia dapatkan dari perenungan, dan jawaban dari orang yang kita tanyai tentang diri kita.

Latihan kedua adalah upaya untuk memperbaiki. Setelah kita tahu kondisi kita, maka kita usahakan untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan kekurangan yang kita miliki. Bila perlu, kita tulis dalam daftar semua keburukan yang kita miliki dan rumuskan formula-formula untuk memperbaikinya.

Bila Cinta Memanggilmu

Kendati jalan yang mesti engkau lewati sangat keras dan terjal

Ketika sayap-sayapnya merangkulmu, maka berserah dirilah padanya

Sekalipun pedang-pedang yang bersemayam di balik sayap-sayap itu barangkali akan melukaimu

Ketika ia bertutur kepadamu, maka percayalah padanya

Walaupun suaranya akan memporaporandakan mimpi-mimpimu laksana angin utara yang meluluh-lantakkan tetanaman

Cinta akan memahkotai dan menyalibmu

Menyuburkan dan mematikanmu

Membubungkanmu terbang tinggi, mengelus pucuk-pucuk rerantinganmu yang lentik dan menerbangkanmu ke wajah matahari

Namun cinta juga akan mencekik dan menguru-uruk akar-akarmu sampai tercabut dari perut bumi

Serupa dengan sekantong gandum, cinta menyatukan dirimu dengan dirinya

Melolosmu sampai engkau bugil bulat

Mengulitimu sampai engkau terlepas dari kulit luarmu

Melumatmu untuk memutihkanmu

Meremukkanmu sampai engkau menjelma liat

Lantas,

Cinta akan membopongmu ke kobar api sucinya

Sampai engkau berubah menjadi roti yang disuguhkan dalam suatu jamuan agung kepada Tuhan

Cinta melakukan semua itu hanya untukmu sampai engkau berhasil menguak rahasia hatimu sendiri

Agar dalam pengertianmu itu engkau sanggup menjadi bagian dari kehidupan

Jangan sekali-kali engkau ijinkan ketakutan bersemayam di hatimu

Supaya engkau tidak memperbudak cinta hanya demi meraup kesenangan

Sebab memang akan jauh lebih mulia bagimu

Untuk segera menutupi aurat bugilmu dan meninggalkan altar pemujaan cinta

Memasuki alam yang tak mengenal musim

Yang akan membuatmu bebas tersenyum, tawa yang bukan bahak, hingga engkaupun akan menangis, air mata yang bukan tangisan

Cinta tak akan pernah menganugerahkan apa pun kecuali wujudnya sendiri

Dan tidak sekali-kali menuntut apapun kecuali wujudnya sendiri itu pula

Cinta tidak pernah menguasai dan tidak pernah dikuasai

Lantaran cinta terlahir hanya demi cinta

Manakala engkau bercinta, jangan pernah tuturkan “Tuhan bersemayam di dalam lubuk hatiku.”

Namun ucapkanlah “Aku tengah bersemayam di dalam lubuk hati Tuhan.”

Jangan pula engkau mengira bahwa engkau mampu menciptakan jalanmu sendiri.

Sebab hanya dengan seijin cintalah jalanmu akan terkuak

Cinta tidak pernah mengambisikan apapun kecuali pemuasan dirinya sendiri

Tetapi bila engkau mencintai dan terpaksa mesti menyimpan hasrat, maka jadikanlah hasratmu seperti ini:

Melumatkan diri dan menjelma anak-anak sungai yang gemericik mengumandangkan tembang ke ranjang malam

Memahami nyerinya rasa kelembutan

Berdarah oleh pandanganmu sendiri terhadap cinta

Menanggung luka dengan hati yang penuh tulus nan bahagia

Bangkit di kala fajar dengan hati mengepakkan sayap-sayap

Dan melambaikan rasa syukur untuk limpahan hari yang berbalur cinta

Merenungkan muara-muara cinta sambil beristirahat di siang hari

Dan kembali di kala senja dengan puja yang menyesaki rongga hati

Lantas, engkaupun berangkat ke peraduanmu dengan secarik doa

Yang disulurkan kepada sang tercinta di dalam hatimu

Yang diiringi seuntai irama pujian yang meriasi bibirmu.

Hidup Bermakna

Sayyid Quthb mengemukakan pada bagian mukaddimah tafsir Fi Zhilalil Qur’an mengatakan: “Hidup di bawah naungan Al Qur ‘an adalah suatu nikmat. Nikmat yang tidak dimengerti kecuali oleh yang merasakannya. Nikmat yang mengangkat harkat usia manusia, menjadikannya diberkahi, dan menyucikannya

Hidup di bawah naungan Al Qur'an adalah hidup yang disinari ilmu dan iman. Hidup dengan ilmu dan iman akan memiliki dinamika kegiatan yang positif serta sangat indah dan nyaman dinikmati oleh pemiliknya atau pelakunya. Hidup yang dinamis, penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan.

Hidup yang dijalani hamba Allah yang taat, beriman dan bertaqwa dilihat sangat indah dan nyaman oleh keluarga dan masyarakatnya, karena pada kesehariannya memancar dari dirinya akhlaqul karimah, sikap mulia dalam pergaulan serta perkataan dan nasehatnya yang santun, menyejukkan, menyenangkan dan marhamah (kasih sayang). Padahal mungkin hidup yang dilaluinya tidaklah seindah yang terlihat, karena tak seorangpun yang bebas dari ujian dan cobaan dalam hidupnya.

Diuji dan Dicoba

Hidup ini terkadang pahit, getir, menyebalkan, menyakitkan, kejam, dan lain sebagainya Hidup seperti itu adalah hidup yang dijalani tanpa keimanan, ketaqwaan dan ilmu pengetahuan. Sudah menjadi ketentuan dari Yang Maha Pencipta, setiap kehidupan manusia akan mendapatkan ujian, cobaan, tantangan dan kesulitan.

Dalam surat Al Baqarah ayat 155 s/d 157 Allah SWT mengingatkan agar cobaan hidup dihadapi dengan sabar dan bertawakkal serta yakin akan datang berita gembira, yaitu mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Allah SWT, berdasarkan petunjuk-petunjuk-Nya.

Jangan tergoda akan godaan syetan yang berbisik dalam hati, seperti berbuat keji dan mungkar, atau berputus asa, sehingga bertindak atau melakukan perbuatan yang dimurkai Allah SWT. Dengan memohon pertolongan kepada Allah SWT dengan sabar dan shalat, insya Allah petunjuk akan datang dan akan nyata jalan yang harus dilalui atau dilaksanakan. Yakinlah jalan keluar dari kesulitan itu akan datang dari Allah SWT.

Tidak ada manusia yang tidak khilaf dan bersalah. Tidak ada kehidupan manusia yang bersih dari noda dan dosa. Dengan arif marilah datang
kepada-Nya melalui sujud dan permohonan ampunan. Serahkanlah permasalahan hidup kepada-Nya secara total, dan lakukan dengan sabar dan tekun.

Dengan Ilmu dan Iman

Peran ilmu yang luas sangat dominan dalam memahami petunjuk Allah SWT. Ilmu akan menyinari hidup sehingga raudah kembali ke jalan Allah. Dengan Ilmu seseorang akan mampu melihat perbuatan yang baik dan buruk, yang merugikan atau yang menguntungkan, yang benar atau yang salah.

Ada perbuatan yang menguntungkan seseorang atau kelompok, tetapi merugikan orang lain dan orang banyak. Hidup yang tidak dilandasi iman, cenderung menggunakan ilmu dan kemampuannya atas dasar nafsunya (mengikuti langkah syetan), melupakan fitrah hidup, bahwa jin dan manusia adalah untuk mengabdi kepada-Nya.

Mari merenungkan satu hadits Nabi SAW yang menyatakan: “Sungguh menakjubkan keadaan mukmin itu. Allah tidak menetapkan suatu keputusan baginya, melainkan keputusan itu akan baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, ia akan bersabar, dan yang demikian itu lebih baik baginya. Jika mendapat kesenangan dia akan bersyukur, maka yang demikian itu adalah baik baginya. Dan hal tersebut tidak akan menjadi milik seseorang kecuali orang mukmin ” (HR. Bukhari & Muslim).

Niat yang tulus dan keyakinan yang kuat untuk menghiasi hidup ini dengan langkah perbuatan dan kegiatan-kegiatan yang mengandung makna pengabdian kepada Allah SWT, menjadikan hidup seseorang itu indah dan perbuatarmya itu akan menghasilkan manfaat bagi lingkungan sekitamya.

Dari dirinya akan terlihat, bahwa hidup ini adalah anugerah yang tidak ternilai, lebih dari segala yang dimilikinya seperti harta dan kekayaannya. Firman Allah SWT :

Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apayang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu….. ” (QS. Al Baqarah : 284)

Keteladanan Abu Bakar Ash Shidiq

Ada sebuah kisah yang menarik:

Suatu ketika Nabi sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Beliaubertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?” AbuBakar ra menjawab: “Aku”.
Kemudian beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini mengiringi jenazah?” Abu Bakar menjawab: “Aku”.

Tanya beliau kembali: “Siapakah yang hari memberi makan orang miskin?”. Jawab Abu Bakar: “Aku”.

Tanya beliau kembali, “Siapakah di antara kalian yang hari ini membesuk orang sakit?” Jawab Abu Bakar, “Aku”.

Lalu Nabi SAW bersabda: “Tidaklah amal-amal tersebut menyatu pada diri seseorang melainkan dia akan masuk surga” (Hani Saad Ghunaim, Hidup Bahagia, Mati masuk Surga, Solo, 2008, hl.xii).

Semoga kita mampu mengisi hidup ini sebagaimana kisah Abu Bakar tersebut, dan terutama yang terpilih menjadi pemimpin, agar hidup semakin bermakna.

Makna Kesyukuran

Aisyah ra. menceritakan bahwa suatu malam saat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berbaring di dekatnya, beberapa saat kemudian Rasulullah berkata, “Wahai puteri Abu Bakar, izinkanlah aku bangun untuk beribadah kepada Rabbku.” Aisyah menjawab, “Saya begitu senang berdekatan denganmu, tapi aku mengizinkanmu.” Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bangun, pergi berwudhu lalu shalat.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mulai menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis. Terus-menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat subuh.

Aisyah lantas bertanya kepada beliau, “Apakah yang menyebabkan Tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Tuan, baik yang dahulu maupun yang kemudian? Beliau menjawab, “Tidakkah seharusnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Al-Baqarah:164).

Demikianlah sosok Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang yang telah diampuni semua dosa-dosanya baik yang dahulu maupun yang kemudian, dan dijamin masuk ke dalam surga tertinggi, namun beliau tetap melaksanakan sholat malam bahkan sampai kaki beliau bengkak-bengkak. Semua itu dilakukan beliau agar menjadi seorang hamba yang bersyukur.

Beliau memberi contoh kepada umatnya agar untuk selalu mengingat nikmat yang dianugerahkan kepada manusia, mensyukurinya baik dengan hati, lisan, dan perbuatan. Hati senantiasa mengakui bahwa nikmat yang telah ia rasakan adalah dari Allah disertai dengan pengagungan kepada-Nya, lisan mengucap hamdalah disertai dengan amalan-amalan ibadah lisan yang lain, dan anggota badan senantiasa melaksanakan amal ibadah sebagai bentuk ketaatan dan ketundukan, kecintaan, pengharapan, dan takut kepada Allah.

Bersyukur tidak hanya sebatas mambaca hamdalah. Tidak dinamakan bersyukur jika seorang hamba mendapatkan nikmat kemudian dia membaca hamdalah, namun berikutnya ia menggunakan nikmat tersebut untuk melakukan kemaksiatan. Dengan melakukan kemaksiatan berarti ia telah mengingkari nikmat yang telah diberikan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Sebab Allah Subhana Wa Ta’ala mengaruniakan nikmat kepada manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana tujuan penciptaan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Untuk itu, tidak sepantasnya kemaksiatan dilakukan seorang hamba, sebab tidak mungkin seseorang tersebut melakukan kemaksiatan kecuali pasti dengan apa yang telah direzekian oleh Allah Subhana Wa Ta’ala.

Misal, seseorang yang melakukan perbuatan zina tidak mungkin ia melakukannya tanpa menggunakan rezeki yang telah Allah Subhana Wa Ta’ala berikan. Untuk mendatangi tempat perzinaan ia membutuhkan alat transportasi yang merupakan karunia-Nya, atau jika tanpa alat transportasi paling tidak ia menggunakan kakinya untuk menuju ke sana, atau jika tanpa harus berjalan kaki, tetap saja ia membutuhkan udara agar ia tetap bisa bernapas untuk melakukan perzinaan, belum lagi alat vital yang membenarkan terjadinya perzinaan itu adalah bagian dari rezeki yang telah Allah Subhana Wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-Nya yang seharusnya digunakan untuk kepada yang halal, bukan untuk yang diharamkan. Demikian itu adalah bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah Subhana Wa Ta’ala.

Demikian pula para pelaku kesyirikan, acara sedekah bumi, nglarung, dan sebagainya jelas merupakan dosa besar yang sangat berat. Untuk menyelenggarakan acara-acara semacam itu tidak sedikit dana (yang merupakan rezeki dari Allah Subhana Wa Ta’ala)) yang mereka keluarkan. Namun oleh mereka digunakan untuk membangkang terhadap perintah Allah Subhana Wa Ta’ala. Berarti mereka telah mengkufuri nikmat Allah Subhana Wa Ta’ala sebab mereka tidak menggunakannya untuk beribadah kepada-Nya akan tetapi justru digunakan untuk melanggar perintah Allah Subhana Wa Ta’ala. Walaupun sebagian mereka mengatakan bahwa acara semacam itu diadakan sebagai wujud rasa “syukur” mereka kepada Allah Subhana Wa Ta’ala, namun justru mereka telah mengkufuri nikmat Allah Subhana Wa Ta’ala.Dan masih banyak lagi contoh lain yang riil hari ini.

Sudah sepantasnya sudah menjadi bahan perenungan yang mendalam bagi kita semua. Kenikmatan yang telah diberikan kepada kita adalah untuk disyukuri, caranya ialah dengan menggunakannya untuk beribadah kepada Allah Subhana Wa Ta’ala, baik ibadah hati, lisan, maupun perbuatan. Semoga dengan mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada kita maka Allah Subhana Wa Ta’ala akan menambah nikmat tersebut lebih banyak lagi. Sebagaimana janji Allah Subhana Wa Ta’ala dalam surat Ibrahim ayat 7, “…Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”